Cahaya senja menerobos dari jendela, menyatu dengan lukisan-lukisan di galeri pribadiku, mengantarku berada ke negeri para dewa dengan pura yang menjulang di mana-mana. Aku akan terbang ke sana, menjadi lelaki yang menjalar pada tiap dinding pura, sesekali akan beradu muka dengan patung batu yang menjaga setiap pintu pura. Setiap jumlah anak tangga akan kuhapal, setiap ritual pemujaan kepada dewata akan kuikuti. Aku juga akan pergi ke pantainya, berlarian, bergumul bersama turis-turis yang telanjang, menikmati gemuruh ombak dan semilir angin. Di pantai itu aku akan menghabiskan waktu di atas karang dengan kanvas dan kuas. Tubuhku akan belepotan dengan cat lebih banyak, tiap kali tak puas dengan hasil lukisanku, aku akan menghukum diriku dengan mengusapkan cat-cat itu ke tubuhku.
Semenjak nama itu sering kudengar, serasa aku telah menjadi orang Bali yang tak asing dengan bermacam yang ada di sana. Bahkan nama kota-kota di sana pun aku telah tahu, lengkap dengan tempat-tempat yang menarik di dalamnya. Semua itu karena kawan-kawanku yang membicarakan namanya. Nama perempuan itu. Penyair jelita yang selalu melihat dunia dari sisi-sisi puitik, konon. Ah, sekarang pun aku menjadi suka puisi, meski aku bukanlah penikmat puisi yang baik. Aku hanya kenal satu puisi, satu puisi yang telah aku hapal dalam-dalam. Puisi itu adalah karyanya, Penyair jelita dari pulau Dewata itu. Ia menulis puisi tentang lelaki yang terdiam di sebuah pantai, dan adakah kau tahu? Aku terlalu hanyut di dalamnya, seakan aku adalah pria yang begitu saja jatuh dari atas air terjun yang teramat tinggi, berputar-putar dengan buih dan hanyut dihempasnya. Aku mengalir menjadi benda-benda yang tanpa perlawanan dibawa arus. Kadang aku lebih dari gila! Puisi itu berjudul “Adakah Kau Lelakiku?” __dan aku lah lelaki tua itu. Sungguh! Aku orang yang sangat beruntung karena di anggapnya sebagai lelaki yang ia cari-cari, jika bukan, setidaknya aku cukup bahagia karena menjadi inspirasi baginya menulis puisi.
Sudah dua tahun aku mendengar nama itu, sampai-sampai menyelinap masuk dalam mimpi-mimpiku. Mengilhami setiap karyaku yang mengalir di sahara kanvas. Warna-warna tertuang begitu berarti, berjalan dengan irama ringan tapi sungguh kaya makna. Sampai saat ini, sudah tigabelas lukisan yang tercipta, yang kulukis dengan imajinasi terbaikku tentang Bali, tentang penyair jelita dari Bali.
Nama itu lebih sering kudengar lagi, semakin menyempurnakan imajinasiku bersketsa dengan bayangan. Seorang temanku benar-benar pecinta-gila. Tak habis-habisnya dan tak bosan-bosannya ia bercerita tentang penyair itu. Yang lebih bodoh, kawan-kawanku akan mengulasnya habis-habisan. Satu sama lain nampak saling narsis dengan pertemuan-pertemuan yang sempat terjalin. Aku yang penghayal tingkat tinggi ini lebih suka diam sambil terus mengikuti pembicaraan mereka. Menyusun setiap kata-kata yang meluncur menjadi susunan potret dewi dalam berbagai pose.
Pulau Bali. Entah seperti apa sebenarnya tempat itu. Sejauh yang bisa kubayangkan hanyalah apa yang pernah kulihat di televisi dan majalah-majalah dari agen dan biro pariwisata. Ada banyak pura, ada Barongan Leak, tari Kecak, kain kotak-kotak seperti papan catur, ritual-ritual meriah, bunga Kamboja yang terselip di telinga orang-orang, dan tentunya ratusan tempat dugem yang gemerlap, banyak wisatawan menggeleng-geleng kepalanya di tengah musik yang menderu. Dan yang pasti tidak ketinggalan adalah gadis-gadis telanjang di sepanjang pantai.
Kawanku yang pecinta gila itu bercerita, ia adalah seorang titisan dewi dari percintaan para dewata. Mata bening berwarna coklat tampak seperti matahari pagi yang mengusap rambut pirangnya. Lurus, panjang dan berkilau. Bibir tipisnya adalah garis cakrawala yang akan membuat burung-burung mengejarnya. Merah cerahnya adalah goresan warna yang dilukis langsung oleh Krishna sebagai pataka kebesaran yang mewakili panji ke-Agungan-Nya. Kulit di tubuhnya adalah sutera suci yang dihadiahkan Raja Kakudmi kepada putri-Nya.
Kawanku memang pecinta gila, dan parahnya__kegilaan itu menular padaku, meski sekali pun aku belum pernah bertemu perempuan itu. Bagaimana tidak! Suatu ketika, tatkala mentari perlahan singsing, aku duduk di belakang rumah menikmati pagi sambil memandangi arus kali yang mengalir lambat (rumahku berada di pinggir sungai). Di sana aku bisa melihat banyak kendaraan melintas di atas jembatan dan matahari pagi akan membenamkan jembatan itu sejenak. Tiba-tiba aku ingat kata-kata temanku, bahwa bibir penyair jelita yang dipujanya adalah cakrawala yang merahnya merupakan warna yang digores langsung oleh Krishna, segera aku lari kedalam rumah, mengambil kanvas, kuas dan cat yang berantakan di galeriku. Pagi itu aku melukis seorang perempuan Bali dengan bibir tipis warna merah cerah, mata bening coklat, kulit kuning langsat dan rambut pirang panjang memantulkan cahaya mentari. Perempuan itu tersenyum dengan bunga kamboja terselip di kuping, duduk di atas tebing dengan pakaian yang hanya jarit, ia begitu bahagia menyambut Krishna yang bersinar. Lukisan itu adalah lukisan yang ke-tigabelas, lukisan yang kuanggap sebagai master peace dari seluruh lukisan yang pernah kubuat. Huh! Sejak kapan aku menjadi pecinta Bali. Sebelum nama itu sering kudengar, aku sama sekali tak pernah berpikir untuk pergi ke Bali. Bagiku, tak ada yang lebih indah dari tempat kelahiranku. Gedung-gedung peniggalan sejarah dan alun-alun kota yang terlihat begitu tua tetapi selalu romantis bila sore tiba. Banyak peninggalan sejarah yang selalu menjadi inspirasiku dalam melukis. Selain dikenal sebagai kota budaya, kotaku juga disebut sebagai kota pelajar (semua orang tahu itu). Setiap tahun ratusan orang datang untuk menimba ilmu di kotaku. Belajar arti hidup dan memulai kisah yang baru. Bahkan banyak penyair yang tumbuh dan besar di kotaku. Apa yang kurang dari kotaku?
***
Galeriku semakin temaram, senja mulai redup dari ventilasi. Suara bel rumah membuyarkan lamunanku, kutinggalkan lukisan-lukisan itu. Aku menuju ke pintu rumah dan membukanya.
“Selamat sore. Maaf, mengganggu. Apakah rumah ini masih dikontrak oleh sebuah komunitas sastra?”
Mataku terbelalak. Jantungku berdebar keras, dan napasku hampir berhenti. Perempuan itu mengulangi pertanyaannya. Aku tergugup
“Tidak, mereka sudah pindah enam bulan lalu” Ah, kentara sekali gugupku. Tenang! Tenang! Seniman tak boleh gugup! ”Maaf, Anda siapa?” lanjutku sambil menggaruk kepala yang sebenarnya tak gatal
“Saya Dewi dari Denpasar. Dulu saya sempat mampir di sini ketika ada pertemuan penyair muda Indonesia.”
Jantungku berdegup makin kencang. Jauh, jauh di dalam sana, aku berkata, “Ya, aku suka Bali! Aku cinta gadis Bali!”
Bantaran Kali Gajahwong, 2007